Selasa, 26 Februari 2008

Bahasa Jurnalisme Rezim Orde Baru: Sebagai Alat Kekuasaan Penguatan Dominasi

-teruntuk bang mimar: terimakasih ilmunya-


Jurnalistik di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam sejarah negara ini. Pasang surut kian menghiasi perkembangan dunia yang satu ini, dari awal kemunculannya sampai dengan sekarang. Malah, catatan sejarah jelas menunjukan kalau umur jurnalistik lebih senior dibanding dengan umur berdirinya Indonesia. Hal ini ditunjukan dengan munculnya beberapa surat kabar lokal pada masa penjajahan baik Belanda ataupun Jepang.

Berbicara tentang jurnalistik pasti tidak akan lepas dari persoalan bahasa. Mengapa demikian? Bahasa adalah komponen utama yang menyusun jurnalistik. Melalui bahasa manusia dapat berkomunikasi, mengekspresikan sikap dan tindakan terhadap sesuatu. Komunikasi dan ekspresi manusia terhadap sesuatu inilah yang mendasari adanya dunia jurnalistik Tanpa bahasa, mustahil jurnalistik akan muncul.

Pada dasarnya, manusia hidup di dunia ini pasti akan berpolitik. Tak peduli ia hidup di bidang pemerintahan atau tidak, ia pasti akan menunjukan sisi-sisi dan tidakan yang menunjukan bagaimana sikap politisnya. Contohnya seorang balita yang hendak kita rebut botol susunya. Mungkin saja ia akan menggigit dot pada botol tersebut untuk mempertahankan apa yang ia punya. Tindakan balita mengigit dotnya itu, bisa dikatakan sebagai sikap politik untuk mempertahankan botol susu yang menjadi kekuasaannya.

Begitu pula bahasa dalam jurnalistik. Bahasa dalam jurnalistik-pun dalam perkembangannya, dulu sampai sekarang, terkait dengan politik. Hal ini terjadi karena bahsa adalah refleksi dari politik itu sendiri. Politik yang ada pada bahasa jurnalistik kerap terkait dengan kekuasaan. Kekuasaan tersebut datang baik dari pemerintah ataupun dari pihak non pemerintah.

Ketika awal kemerdekan, tepatnya zaman parlementer, harian yang muncul mengusung ideologi masing-masing. Akibat tiap-tiap partai memiliki surat kabar, bahasa di masing-masing harian tersebut cenderung merupakan sikap politik partai dan berusaha menanamkan ideologi yang mereka bawa. Bahkan, terkadang penggunaan bahasa dalam pemberitaan surat kabar tersebut cenderung menjatuhkan partai yang lain, yang menjadi oposisi mereka.

Belum lagi masa orde baru. Ketika rezim ini berkuasa bahasa digunakan sebagai salah satu alat pelanggeng kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan dan statement pemerintah tentang sesuatu hal yang cenderung tidak sesuai dengan makna aslinya dan pro pemerintah. Celakanya, pada saat itu, pers dan jurnalis terkesan nurut saja. Bahasa yang digunakan pemerintah-pun diikuti dalam penulisan jurnalistik. Mungkin hal itu terjadi karena 46 % informasi dari surat kabar berasal dari pemerintah.Sebenarnya ada media yang membaca pembodohan yang dilakukan orde baru. Akan tetapi, media jurnalistik tersebut keburu dibredel oleh pemerintah sehingga jurnalis terkesan diam saja.

Dimata sebagian orang, sekarang mungkin merupakan titik baru dalam perkembangan bahasa jurnalistik. Dengan kebebasan yang ada, bahasa jurnalistik tidak akan terjebak dengan politik dan kekuasaan dari pihak-pihak yang berkuasa. Benarkah demikian? Apakah sekarang bahasa jurnalistik yang diusung media memang merupakan sikap politis yang independen dari media tersebut? Mungkin saja ia. Akan tetapi, apakah sikap politik yang independen itu tidak terkait dengan kekuasaan dan ideologi pemilik harian tersebut? Hal itu bisa saja tidak.

Dari tesis yang dibuat Ibnu Hamad, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, saya menyimpulkan keberpihakan dalam pemaparan bahasa jurnalisme masih tetap ada sampai sekarang. Contoh yang diambilnya pada saat itu adalah pemberitaan tentang kasus Ambon. Dari kasus tersebut, dari empat surat kabar yang ia teliti, terdapa dua surat kabar ibukota yang cenderung menunjukan keberpihakkan terhadap agama-agama yang katanya menjadi sentral dari konflik tersebut. Dua surat kabar itu, apabila diteliti lebih lanjut, ternyata dimiliki oleh orang yang agamanya sama dengan agama masing-masing penduduk yang bekonflik di Ambon. Hal ini jelas menunjukan adanya politik keberpihakkan dalam pemaparan bahasa yang digunakan dalam pemberitan.

Dari apa yang dipaparkan, jelas bahasa jurnalisme Indonesia, dulu dan sekarang masih dipengaruhi kekuasaan. Kekuasaan inilah, dengan berbagai kepentingan yang dibawa, akhirnya menunjukan seperti apa sebenarnya politik atau sikap media jurnalistik tersebut.

Tidak ada komentar: